Sejarah Perkebunan Indonesia



Sejarah perkembangan perkebunan di negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan kolonialisme, kapitalisme, dan modernisasi. Sistem perkebunan merupakan bagian dari system perekonomian pertanian komersial dan kapitalistik. Sistem perkebunan telah memperkenalkan berbagai pembaharuan dalam system perekonomian pertanian yang membawa dampak perubahan penting terhadap kehidupan masyarakat tanah jajahan atau negara-negara berkembang.

Kehadiran komunitas perkebunan di tanah jajahan, melainkan lingkungan yang berbeda dengan lingkungan setempat. Bentuk dan orientasi lingkungan perkebunan yang lebih tertuju ke dunia luar, menjadikan lingkungan perkembunan seolah-olah terpisah dari lingkungan agraris setempat, dianggap telah menciptakan tipe perekonomian kantong yang bersifat dualistis.
Dualis perekonomian timbul sebagai akibat dari adanya sektor-sektor perekonomian yang berbeda tingkat produktivitasnya dan orientasi pemasarannya, akan tetapi hidup secara berdampingan. Eksploitasi sumberdaya tanah dan tenaga kerja yang melimpah di sector tradisional untuk penyelenggaraan produksi pasaran Eropa menjadi kebijaksanaan politik perekonomian kolonial.
Sistem perkebunan di Indonesia juga diperkenalkan lewat kolonialisme Barat, dalam hal ini kolonialisme Belanda. Sistem penyerahan paksa itu dapat diterapkan dalam usaha eksplotasi produksi pertanian tanah jajahan yang langsung ditangani oleh pemerintah koloni. Bedanya ialah apabila politik eksploitasi VOC dilakukan secara tidak langsung, yaitu melalui kepala-kepala pemerintahan feodal setempat, maka politik eksploitasi pemerintah kolonial dilakukan secara langsung, dengan menggunakan system perkebunan negara.

Penyusunan birokrasi kolonial yang modern, yaitu antara lain hendak menerapkan prisip legal-rasional, hirarkis, diferensiasi dan diskrispsi tugas dan yang berbudaya tulis, menuntut prasyarat lain yaitu pendidikan. Pendek kata pendidikan menjadi kebutuhan birokrasi kolonial, sehingga tidak mengherankan apabila corak pendidikan lebih bersifat praktis, sederhana, terbatas, dan berorientasi kepada penyiapan tenaga birokrasi. Politik “pintu terbuka” sebenarnya dilakukan atas desakan golongan menengah yang menghendaki tempat dalam proses eksploitasi tanah jajahan. Kebanyakan mereka adalah golongan pengusaha atau kaum pemilik modal yang menjadi golongan borjuis dan pendukung aliran politik liberal.
Politik etis motif perubahan politik yang terakhir inipun pada hakekatnya tidak jauh berbda dengan sebelumnya, yaitu pelestarian kepentingan kaum kapitalis industry di tanah jajahan, termasuk kepentingannya dalam bindang industri perkebunan. Dua tipe kegiatan pertanian, yaitu kegiatan pertanian yang menggarap tanaman subsisten dan menggarap tanaman perdagangan. Kegiatan pertanian ini menunjukkan berbagai keanekaragaman, baik dalam segi tanaman, pemilikan tanah, motif ekonomi, kebudayaan, teknologi dan lingkungan yang mempengaruhi pertanian.
Sistem peladangan secara temporal dan spatial tersebar luas, merupakan system pertanian tidak tetap, yang asal-usulnya dapat dikembalikan pada masa prasejarah. Sitem perladangan lebih banyak dijumpai di daerah tropic, yang didukung oleh tingkat kepadatan penduduk tertentu, dan dilakukan oleh berbagai macam latar belakang kebudayaan dan tingkat perkembangan teknik. Berbeda dengan perladangan, system persawahan merupakan bangunan alam sekitar arti fisial yang secara tetap ditangani dengan tanaman khusus. Seperti halnya system perladangan dan persawahan, system kebun telah tua. Menurut para ahli, sistm kebun tanaman tahunan pada lahan tetap, telah berlangsung di Indonesia berabad-abad lamanya, setidak-tidaknya sejak 1200 M.
Kebun kurang menuntut tenaga kerja besar, karena tidak memerlukan pembangunan dan pemerlihaan bangunan irigasi seperti yang diperlukan persawahan. Kebun juga tidak menuntut kebutuhan lokasi yang istemewa. Sistem kebun campuran di Jawa Timur telah berlangsung lama, yaitu sejak tahun 1200 M, dan di Jawa Tengah malahan jauh sebelumnya. Demikian juga kebun kopi dan karet telah meluas ke perladangan kuna di daerah Minangkabau sejak akhir abad ke-19.
Hubungan simbiotik dalam organisasi perdangangan maritime antara Jawa dan daerah lain pada abad ke-16-17, dapat dilihat dari corak pertukaran komoditi perdangangan. Kota-kota Bandar emporium di Jawa tumbuh dari abad ke-11 sampai abad ke-16. Emporium di daerah Indonesia bagian Timur, yaitu Ternate, Tidore, Makassar, dan juga daerah Banjarmasin.
VOC memiliki hak istemewa untuk berdagang, berlayar dan memegang kekuasaan di wilayah antara tanjung harapan dan kepulauan Salomon. Tujuan yang hendak dikejar adalah mendirikan kekuasaan di asia, terutama di Indonesia dan merebut hegemoni perdangangan Portugis dan Spanyol serta merebut monopoli perdangangan dari tangan Raja atau Perdangangan Pribumi.

Dalam usaha untuk menguasai perdangangan melalui berbagai jalan, yaitu:
  1. Melalui penaklukan atau kekerasan (banda).
  2. Melalui kontrak monopoli (ternate).
  3. Dasar persetujuan atau dasar perdangangan bebas.
Mengingat tujuan utama yang dikejar VOC adalah keuntungan ekonomi yang diperoleh dari monopoli bahan perdangangan, maka VOC mengambil kebijaksanaan politik pemerintahan secara tidak langsung terhadap daerah yang ada dibawah pengaruhnya.Dengan demikian, VOC menerapkan system eksploitasi komoditi ekspor dengan menggunakan sisten paksa, yaitu berupa leveransi atau penyerahan wajib dan kontingensi atau system penyerahan produksi komoditi perdangangan berdasarkan kuota yang ditentukan. Adapun kontingensi, berupa penyerahan barang-barang yang diwajibkan dalam jumlah yang ditetapkan, dengan mendapat pembayaran kembali, tetapi dalam jumlah sedikit sekali atau sama sekali tidak dibayar.
Untuk mengawasi penyerahan wajib atau paksa cengkih dan pala di Maluku, VOC mengadakan “pelayaran dera”, yaitu pelayaran pengawasan dengan menggunakan kapal-kapal dayung yang besar-besar atau kora-kora yang dipersenjatai.
Pada sekitar tahun 1800, yaitu masa berakhirnaya VOC, daerah kekuatan VOC sebenarnya mencakup beberapa kepulauan di Maluku, Batavia dan sekitarnya, Priyangan, Pantai utara Jawa, Ujung Timur Jawa dan Madura, Padang dan Palembang di Sumatera, Pontianak dan Sambas di Kalimantan, Makassar dan Minahasa di Sulawesi.
Proses pelaksanaan penanaman kopi di daerah Piyangan diawali dengan adanya kecenderungan permintaan kopi yang meningkat di pasaran Eropa, pada akhir abad ke-17. Ada beberapa factor yang mendukung keberhasilan penanaman kopi di daerah Priyangan. Pertama, factor alami yang dimiliki daerah Priyangan memungkinkan kopi dapat tumbuh dengan baik, baik di daratan tinggi maupun di dataran rendah. Kedua, daerah yang bergunung-gunung di Priyangan memberkan perlindungan baik terhadap perkebunan kopi dari tiupan angin yang kuat. Ketiga, kesuburan tanah di Priyangan pada abad ke-18 mungkin masih baik untuk tanaman kopi. Factor lain, yaitu factor ekonomi ikut mempengaruhi. Harga pembayaran kopi pada masa permulaan tidak hanya stabil dan mantap, tetapi juga tinggi.
Akan tetapi akibat dari organisasi pelaksanaan penanaman kopi yang sepenuhnya diserahkan kepada golongan elite pribumi dan pengawasan VOC sangat terbatas sekali, maka system Priyangan banyak menimbulkan penyimpangan-penyimpangan, seperti praktek penyalahgunaan kekuasaan, pemerasan, penindasan dan korupsi di kalangan penguasa local. Salah satu kericuhan yang timbul di Cianjur pada tahun 1726, sebagai akibat dari pelaksanaan penanaman kopi paksa di daerah tersebut. Sekelompok penduduk merasa tidak puas atas pembayaran kopi yang diberikan VOC lewat bupati setempat, yaitu Aria Wiratanu. Selain itu, system penanaman kopi wajib di Priyangan juga memiliki dampak demografis. Perluasan penanaman kpi secara cepat telah menimbulkan kebutuhan tenaga kerja dan sarana transportasi. Pada akhir abad ke-18 terjadi pergerseran penting dalam komoditi perdangangan. Priyangan merupakan kebijaksanaan kapitalisme kolonial pada masa VOC, yang pada masa kemudian menjadi landasan penciptaan system tanam paksa pada tahun 1830.
Selain dengan pembukaan penanaman kopi, dalam memperluas sumber pendapatan penyerahan wajib, VOC juga melakukan penyelenggaraan persewaan-desa dan Tanah Partikulir. Mengenai persawahan desa dan tanah partikelir, banyak laporan tentang akibat buruk yang dilakukan oleh para tuan tanah terhadap petani desa mereka. Karena itu, W.H. van Ijseldijk dan N. Engelhard, misalnya, berpendapat bahwa persewaan-desa merupakan sumber penyalahgunaan, dan tempat pemerasan dan penghisapan terhadap penduduk desa yang disewakan.

0 Komentar